Kamis, 10 Februari 2011

SEPAKBOLA, INDONESIA DAN SEPAKBOLA INDONESIA


SEPAKBOLA, INDONESIA DAN SEPAKBOLA INDONESIA
                                                                        Nissa Annisa Hafdal (27051992)
BEKASI, 10 DESEMBER 2010

Sejak 7 Desember lalu, entah kenapa rasa nasionalisme dan rasa kecintaan saya terhadap sepakbola Indonesia kian memuncak. Bermula dari pertandingan sepakbola bertajuk AFF Suzuki cup 2010 yang melibatkan timnas Indonesia yang juga menjadi tuan rumah grup A pada ajang ini. Pertandingan pertama melawan Malaysia pada 1 Desember 2010, Indonesia menang 5-1. Hampir semua temen-temen di akun facebook yang juga penyuka sepakbola menulis status mengenai kegembiraan mereka terhadap kemenangan Indonesia. Tak terkecuali saya.
            Hiburan yang menguras tenaga, pikiran, perasaan, dan semuanya. Terlebih jadwal ujian tengan semester di kampus saya (UNIVERSITAS GUNADARMA) berbarengan dengan digelarnya perhelatan yang cukup bergengsi di kawasan Asia Tenggara ini. Malam minggu, tepatnya 4 Desember 2010, dimana anak muda sepantaran saya asik menikmati malam minggu bersama pacar (maaf, bagi yang punya) atau bersama teman-teman untuk sekadar berkumpul. Tapi nggak buat saya dan mungkin untuk sebagian anak muda yang mencintai sepak bola Indonesia. Apalagi malam itu Firman Utina dkk menang meyakinkan atas Laos dengan skor telak 6-0.
            Betapa gembiranya saya malam itu. Meski hanya dapat menyaksikan melalui layar kaca. Dengan uang yang saya sisihkan tiap harinya, saya berniat untuk membeli jaket berwarna merah denangan lambang burung garuda di bagian dada sebelah kiri dan bendera merah putih di badian dada sebelah kanannya, serta di bagian punggungnya bertuliskan INDONESIA. Betapa bangganya saya mengenakan jaket itu. Karna itu sebagai bukti kecintaan saya terhadap INDONESIA dan sepakbola tentunya.
            Lanjut ke tanggal 7 Desember 2010. Dimana timnas Indonesia akan bentrok dengan timnas Thailand. Padahal keesokan harinya saya harus menghadapi ujian mata kuliah fisika dan kimia dasar. Tapi demi menyaksikan perjuangan saudara-saudara saya (saudara sebangsa dan setanah air maksudnya) menghadapi penguasa sepakbola Asia Tenggara, Thailand. Meski posisi Indonesia sudah aman dan dapat dipastikan masuk ke babak semi final, tapi pertandingan kali ini sangat bermuatan gengsi, reputasi, bahkan harga diri bangsa (halah, terlalu tinggi bahasanya). Apalagi di dua pertandingan sebelunya Indonesia menang meyakinkan.
            Tanpa ada beban untuk hari esok, saya begitu serius bahkan sampe gak mau kehilangan satu momenpun. Sambil sesekali sms temen untuk sekadar memberi berita pada momen-momen penting. Apalagi saya juga mengenakan jaket Indonesia yang baru kemarinnya saya beli. Bukan karena ingin pamer atau apa, tapi saya ingin merasakan suasana berbeda ketika memakai jaket tersebut dalam menyaksikan pertandingan ini. Yupz… yang dikhawatirkan akhirnya gak terjadi. Indonesia mengubur mimpi anak-anak Thailand untuk bisa masuk semifinal, karna Indonesia menang 2-1 meski kedua golnya tercipta dari titik putih yang dieksekusi Bambang Pamungkas yang juga berperan sebagai kapten menggantikan Firman Utina yang sangat disayangkan tak diturunkan pada malam itu.
            Berakhirlah pertandingan yang cukup menegangkan malam itu. Dan berakhir juga kegembiraan saya malam itu, karena saya harus kembali ke kamar untuk mempelajari lagi materi yang akan diujikan besok. Buku yang berisikan materi pelajaran udah di depan mata. Tapi pikiran saya malah melayang entah kemana. Intinya kembali kemasa lalu. Ke tempat dimana gejolak sepakbola pada diri saya berada.
            SEPAK BOLA, olahraga yang dijuluki olahraga sejuta umat. Olahraga yang identik dengan kaum adam. Olahraga yang…. Yaaa…. Apapun itu selalu berkelebat di benak saya. Entah dari kapan saya mencintai olahraga ini. Kalau dilihat dari garis keturunan, saya sama sekali bukan berasal dari keluarga sepakbola. Ayah saya dulu bermain sepak takraw (meski saya belum pernah menyaksikan ayah saya bermain sepak takraw), bola volley (hingga ibu saya pun ikut memainkannya, meski awalnya nggak bisa) dan sekarang bulutangkis (karena terbeban factor umur).
            Tapi yang saya ingat, sejak kecil (kira-kira SD) saya sering bermain sepakbola bersama teman-teman seumuran kala itu. Baik cewek ataupun cowok. Bahkan dulu tiap tahunnya selalu diadakan pertandingan sepakbola untuk anak-anak guna memperingati HUT RI. Dan saya selalu menyaksikan, bahkan selalu hadir di tiap pertandingan yang melibatkan RT saya. Tapi tidak diiringi dengan menyaksikan pertandingan liga-liga besar yang sering di tayangkan televisi swasta. Sampai akhirnya saya duduk di bangku kelas 2 SMP. Rasa cinta saya terhadap sepakbola sedikin tergantikan dengan volley. Tapi gara-gara temen sebangku saya yang entah dari mana juntrungannya, tiba-tiba menyukai sepakbola. Dan karena dia juga, kecintaan saya trhadap sepakbola kembali muncul.
            Awalnya dia (teman sebangku saya) membicarakan tentang sepakbola bersama teman sekelas saya yang lain. Merasa sendiri, saya mencoba mencari tau darinya tentang sepakbola. Kala itu ia memperkenalkan saya tentang sepakbola Indonesia. Klub favoritnya Persija Jakarta dengan Hamka Hamzah yang diidolakannya. Oke… dia memperingatkan saya untuk menyaksikan final copa Indonesia tahun 2005 antara Persija Jakarta versus Arema Malang (kini Arema Indonesia). Entah berapa skornya, saya lupa. Tapi yang pasti Arema berhasil merebut gelar juara dari tangan Persija. Meski saya menyaksikannya dengan setengah hati. Tapi lama-lama… seru juga.
            Dan ketertarikan sayapun berlanjut. Perhelatan terdekat kala itu SEA GAMES. Indonesia turun bersama pemain muda mereka (U-23). Dengan Agus Indra Kurniawan sebagai kaptennya. Saat itu pula saya mulai mengenal pemain yang cukup terkenal hingga saat ini. Sebut saja Mahyadi Panggabean, Saktiawan Sinaga, Syamsul Chaerudin, Syamsidar, Ferry Rotin Sulu, Tony Sucipto, Maman Abdurahman, Ricardo Salampessy, Leonard Tupamahu, dan masih banyak lagi yang gak bisa diragukan eksistensinya di persepakbolaan Indonesia.
            Singkat cerita, keadaan tersebut masih berlanjut. Puncaknya ketika kelas 3 SMP hingga saya menyeret 3 orang teman saya mengenal sepak bola dalam negeri, dan ketiganya cewek. Uniknya mereka menyebut itu ‘virus gila bola’ yang dibawa oleh saya. Sampe-sampe kita pake nama pemain sepakbola sebagai nama panggilan untuk kita berempat. Zaenal Arief, Bambang Pamungkas, Hamka Hamzah dan Eka Ramdani. Oiya, masih ada satu lagi cewek yang juga ikutan suka bola, dengan Saktiawan Sinaga sebagai idolanya.
            Kelas 1 SMA, hampir saja saya kembali menyebar ‘virus gila bola’ kepada teman-teman yang sebagian baru saya kenal. Tapi itu semua sama sekali tak terjadi. Yang ada rasa cinta saya terhadap sepakbola kembali luntur lantaran saya memperkuat ekstrakulikuler Pramuka yang ada di sekolah saya. Cukup lama, sampai akhir kelas 3 SMA. Bukan karena udah nggak mau nonton lagi, tapi karena waktu saya cukup tersita sama kegiatan-kegiatan yang ada di Pramuka. Meski sebelumnya saya sempet ikut lomba futsal antar kelas bagian ceweknya. Cukup mencenangkan, kita siswi kelas satu meraih juara ke 2 setelah kalah di final lawan anak kelas 3. Saya mungkin udah jarang bahkan nggak menonton sama sekali Liga Indonesia selama aktif di Pramuka. Tapi kalo timnas yang main, saya rela mangkir latihan demi bisa nonton pemain kebanggaan Indonesia yang bersatu dibawah bendera merah putih.
            Sedikit luntur memang, tapi gak bener-bener hilang. Saya juga kembali teringat timnas u-23 yang dikirim ke Belanda untuk di persiapkan pada ajang Asian Games di tahun 2006. Beberapa nama yang saya ingat diantaranya, M. Andik Ardiansyah, Roni Tri Prasnanto, Taufik Kasrun, Herman Rhomansyah, Tony Sucipto, Ahmad Bustomi, Eko Prasetyo, Bobi Satria, dan masih banyak lagi pastinya.
            Saya juga teringat kembali dengan satu-satunya nama yang saya tau kala itu seumuran dengan saya, Syamsir Alam. Yang kini menjadi kapten timnas u-19. Kehadiran Syamsir dkk sedikit mengembalikan kecintaan saya terhadap sepakbola Indonesia. Apalagi sejak saat itu saya kembali dapet temen yang bisa di ajak membahas sepakbola, dan lagi-lagi cewek yang saat itu kepincut dengan pesona Syamsir Alam. Tapi yang paling berkesan adalah ketika main sepakbola yang sebenarnya gak bisa di sebut sepak bola atau pun futsal karena lapangan yang dipakai adalah sebuah kelas yang mulai kosong di pertengahan semester karena penghuni sebelumnya dipindah ruang kelas.
            Entah ini sebuah kemungkinan atau hanya anggapan saya. Karena ketika saya menginjakan kaki di universitas, saya kembali nggak bisa lepas dari yang namanya sepakbola. Karena untuk kesekian kalinya saya mendapatkan teman cewek yang bisa di ajak berbagi kegemaran di sepak bola. Pengetahuan tentang sepak bola dalam negeri cukup menjadi berita menarik yang bisa saya sampaikan padanya.
            Terkadang sedikit terlintas di benak saya. Apakah masa depan saya berakhir di sepak bola?? Atau sepakbola hanya memberi kenikmatan di mata saja?? Dan apakah saya bisa hadir dan member pengaruh di sepakbola, terutama di Indonesia?? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang membuat saya enggan membuka kembali buku yang berisikan materi kuliah.
            Kembali ke tanggal 7 Desember 2010. Pasca Indonesia menyelamatkan Malaysia di peringkat ke dua dari tangan Thailand. Materi kuliah di depan mata. Dan detik-detik menjelang ujian pun semakin dekat. Dan kini soal-soal ujian yang tengah berada di tangan. Tapi saya merelakannya melayang begitu saja karena ragu untuk tetap bertahan sebagai calon analis. Hingga akhirnya saya sadar, sebelum benar-benar terjun di dunia sepakbola masih ada tanggung jawab yang harus saya selesaikan. Saya harus tetap bertahan sebagai mahasiswi S1 Sistem Informasi Universitas Gunadarma.
            Sesaat saya menatap jaket merah bertuliskan INDONESIA. Semakin saya menatapnya, semakin besar kebimbangan untuk memilih antara menjadi seorang analis atau mengabdi untuk bangsa melalui sepakbola. Karna saat itu saya harus berfikir realistis. Meski diiringin dengan tetes air mata yang tanpa sadar mengakir dari tepi mata saya. Menyelesaikan S1 adalah target utama. Karena itu adalah harapan orang tua. Jalan menuju sepakbola belum terlihat. Bahkan bisa saja tak terlihat. Tapi jalan untuk mengharumkan INDONESIA tidak hanya bisa di lakukan melalui sepakbola, kan?? Ya. Benar. Tapi apa lagi yang bisa saya lakukan?? Lantas di sepak bola kamu akan melakukan apa?? Lagi-lagi masih ada pertanyaan yang belum bisa saya temukan jawabannya.
            Sampai saya menyelesaikan tulisan ini pun belum ada kepastian langkah yang harus saya ambil. Kalau ingin mengikuti kaya hati, jujur saya lebih ingin berada di sepak bola. Tapi keadaan yang menghalangi. ‘tak ada yang tak mungkin, bila kita yakini, pastilah kan kau dapati’ penggalan lagu Meraih Mimpi milik grup band J-ROCKS itu lah yang sampai sekarang membauat saya tetap optimis. Meski kita tidak selalu mendapati apa yang kita inginkan. Tapi satu yang pasti. Saya akan tetap mencintai sepakbola, Indonesia dan sepakbola Indonesia sampai kapanpun dan apapun keadaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar